Rembulan di Tepi Pantai

         

        Di sebuah desa kecil yang terletak di kaki gunung, hiduplah seorang pemuda bernama Galih. Ia dikenal sebagai pria yang sederhana, namun berhati lembut. Sehari-hari, Galih bekerja sebagai pembuat perahu, mewarisi keahlian itu dari ayahnya. Desa tempat  tinggal Galih memiliki pantai yang indah,  dan para penduduk sering menghabiskan waktu mereka untuk menikmati senja atau sekadar menikmati hembusan angin pantai .

Suatu hari, saat senja menjelang, Galih melihat seorang wanita muda berdiri di tepi Pantai. Wanita itu terlihat anggun dengan rambut panjang yang terurai, dan tatapannya menerawang jauh ke cakrawala, seolah-olah sedang mencari sesuatu yang hilang. Galih terpesona pada pandangan pertama, Wanita itu bernama  Bea, anak kepala desa yang baru kembali dari kota setelah bertahun-tahun merantau.

Galih merasa ada sesuatu yang istimewa tentang Bea, tapi ia tak berani mendekat. Hari demi hari, Galih terus memperhatikan Bea dari kejauhan. Ia melihat Bea sering datang ke tepi Pantai setiap senja, duduk sendiri, dan terkadang menangis pelan. Rasa ingin tahu Galih semakin besar, tapi ia tak tahu bagaimana caranya mendekati Bea tanpa terlihat seperti orang asing.

Suatu malam, saat bulan purnama menerangi langit, Galih memutuskan untuk membuat sebuah perahu yang istimewa. Perahu itu ia buat dengan penuh cinta, dari kayu terbaik yang ia miliki. Galih mengukir nama "Rembulan" di sisi perahu, sebagai simbol dari cahaya bulan yang selalu menemani Bea di tepi pantai. Ia berharap perahu itu bisa menjadi jembatan untuk mendekatkan dirinya dengan Bea.

Ketika perahu "Rembulan" selesai, Galih membawanya ke tepi pantai dan menunggu Bea. Seperti biasa, Bea datang menjelang senja. Galih memberanikan diri menghampiri Bea dan menawarkan perahu tersebut sebagai hadiah. "Aku melihatmu sering duduk di sini, menghadap ke laut. Mungkin perahu ini bisa membawamu lebih dekat dengan rembulan di atas sana," kata Galih dengan suara bergetar.

Bea terkejut, namun senyum tipis terlukis di wajahnya. Ia menerima perahu itu dan mengajak Galih untuk berlayar bersamanya malam itu. Di atas perahu "Rembulan", di tengah laut yang tenang, Bea mulai bercerita. Ia mengungkapkan betapa ia merindukan kebebasan, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan selama di kota. Ia kembali ke desa untuk mencari kedamaian yang hilang, namun tetap merasa kesepian.

Galih mendengarkan dengan hati yang terbuka. Ia menyadari bahwa Bea membutuhkan lebih dari sekadar keindahan alam, ia membutuhkan seseorang yang bisa mengerti dirinya, yang bisa menerima segala kekurangannya tanpa syarat. Galih tahu, inilah saatnya untuk menunjukkan perasaannya.

"Jika kau izinkan, aku ingin berada di sampingmu, mengarungi laut ini bersama, tak peduli betapa tenangnya atau betapa bergejolaknya air di bawah kita," ujar Galih dengan penuh kejujuran.

Mata Bea berbinar, dan tanpa berkata-kata, ia mengangguk. Dalam heningnya malam dan di bawah cahaya bulan purnama, dua hati yang kesepian menemukan rumahnya satu sama lain.

Sejak malam itu, Galih dan Bea sering berlayar di atas perahu "Rembulan". Cinta mereka tumbuh seiring berjalannya waktu, bukan karena janji atau kata-kata manis, tapi karena kejujuran dan ketulusan yang mereka bagi di setiap malam yang dilalui bersama. pantai dan laut itu, yang dulu hanya menjadi tempat pelarian bagi Bea, kini menjadi saksi bisu dari cinta yang sederhana namun mendalam antara Galih dan Bea.

Mereka belajar bahwa cinta tak harus dimulai dengan gemuruh atau kilauan, tapi cukup dengan ketersediaan untuk mendengarkan dan memahami, seperti cahaya rembulan yang dengan sabar menerangi kegelapan malam.

Belum ada Komentar untuk "Rembulan di Tepi Pantai"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel